-->
Di pagi yang cerah itu, wildan diantar oleh ayahnya masuk ke pondok pesantren alqur’an harsallakum. pagi itu merupakan hari yang sangat bersejarah bagi ayah wildan, karena dia bisa mewujudkan keinginannya yang sangat kuat dan juga keinginan mendiang istrinya untuk menyekolahkan anak mereka di pondok pesantren, belajar ilmu agama islam. 


Ratusan santri baru tampak sangat gembira. Sambil diantar orang tua masing-masing mereka menuju ke asrama yang telah ditentukan oleh pengurus asrama. Namun di pagi hari yang cerah itu wildan tampak murung dan tidak bersemangat. Hatinya penuh dengan gejolak, Bagi wildan hari itu merupakan hari yang sial dalam hidupnya, karena ayahnya menyekolahkannya ke pesantren, yang berarti hidup seperti di dalam penjara, hidup dengan berbagai macam bentuk aturan. 

Ayah wildan menangkap kegelisahan itu di wajah anaknya, dia tahu bahwa anaknya tidak mau masuk pesantren. Namun ayah wildan tetap menaruh harapan. Ayah wildan terus berusaha untuk membesarkan hati anaknya. 

Sambil memegang pundak anaknya, ayah wildan berkata. Wildan, kamu belajar yang rajin ya nak, ayah harap kamu bisa betah belajar di pondok ini, belajar ilmu agama yang nanti bisa menjadi bekal hidupmu. Ayah yakin kamu tidak akan mengecewakan ayah, ayo nak tetap semangat. 

Sekali lagi ayah wildan melihat wajah anaknya, wildan masih tampak murung. Dengan tersenyum, ayah wildan berkata, “Oh iya wildan, kemaren waktu ayah pulang kerja ayah menyempatkan diri untuk mampir ke toko buku. Di sana ayah melihat kitab berbahasa arab ini, kata penjaga tokonya, buku ini judulnya fiqih sunnah. Walaupun ayah tidak bisa membacanya, Ayah berharap, suatu saat nanti wildan bisa membacakannya untuk ayah. Ini wildan, ambillah.”

Wildan masih tampak murung, kali ini dengan nada marah wildan berkata, “Ayah, wildan tidak mau sekolah di pesantren ayah, pokoknya wildan tidak mau sekolah di pondok pesantren.” Wildan melepaskan semua emosinya yang terpendam. Wildan pun menolak pemberian ayahnya.

"Ya sudah, kalau wildan tidak mau menerima pemberian ayah, biarlah ayah bawa pulang saja dulu kitab ini." Jawab ayah wildan sambil membesarkan hati.

Ayah wildan tidak menghiraukan permintaan anaknya. Dengan hati sedih, ayah wildan memasukkan kitab fiqih sunnah itu kedalam tas jinjing yang dibawanya. Wildan masih tetap menampakkan muka murung. Sambil besungut-sungut wildan dibawa oleh Ayahnya menghadap bapak pimpinan pondok. Ayah wildan menitipkan anaknya kepada bapak pimpinan pondok agar wildan diperhatikan dan dididik ilmu agama.

Tak lama setelah itu, ayah wildan pamitan pulang kepada pimpinan pondok. Masih terlihat olehnya dari kejauhan wajah wildan yang murung. Namun dengan mengikhlaskan hati kepada Allah, ayah wildan mengucapkan -bismillah lalu melangkah menuju gerbang untuk meninggalkan pondok pesantren.

Selang beberapa lama terdengar hentakan kerar. Beberapa orang melaporkan bahwa ayah wildan tertumbur mobil yang dikendarai oleh supir ugal-ugalan di jalan raya di depan pesantren. Tubuh ayah wildan terlempar beberapa meter. Dalam keadaan yang begitu panik ambulan didatangkan secepatnya.

Selama perjalanan menuju rumah sakit, ayah wildan sempat berbicara begitu lirih. "Wildan ayah senang kamu masuk pesantren nak, ….. Ayah dan Ibu sayang dengan Wildan." Darah segar terus keluar dari mulut ayah Wildan, hingga ia tidak tertolong lagi ketika sesampainya di rumah sakit terdekat.

Kejadian hari itu begitu mengguncang hati nurani Wildan, tidak ada lagi waktu tersisa untuk memenuhi permintaan ayahnya. Kini yang ada hanyalah sebuah penyesalan. Permintaan ayahnya yang sangat sederhana pun tidak dia penuhi. Masih segar terbayang dalam ingatan Wildan, tangan ayahnya yang mengulurkan hadiah berupa kitab berbasa Arab gundul. Kini uluran tangan ayahnya itu terasa sangat berarti sekali.

Sore itu setelah tiga tahun berlalu,Wildan berhasil meraih wisudawan terbaik. Namanya dipanggil nomor satu. Hatinya merasa senang, namun masih meninggalkan penyesalan yang begitu besar.

Di pojok asarama itu, wildan berdiri sendiri. Yang tersisa hanyalah keheningan dan kesunyian hati. Nasehat seorang ayah yang bijak begitu dirindukannya. Wildan mulai membuka kitab fiqih sunnah yang diambilnya perlahan di kumpulan buku-buku di pojok lemarinya. Bukunya sudah tidak baru lagi. Sampulnya sudah usang dan koyak. Goresan tanda tangan ayahnya yang begitu sederhana masih tertera dengan tegar di sampul dalam kitab itu, seperti sebuah kenagan indah, dari ayah yang sederhana.

Wildan menguatkan hati, dengan mata yang berkaca-kaca ia membuka halaman pertama dan membacanya dengan suara keras. Tampak sekali ia berusaha membacanya dengan keras. Ia terus membacanya dengan keras-keras. Halaman demi halaman. Dengan berlinang air mata Wildan berkata dengan lirih, “Ayah, dengar Wildan bacakan kitab ini untuk ayah."

Selang beberapa kata hatinya pun memohon lagi. "Ayah, wildan mohon maaf, Wildan sayang ayah. Seakan setiap kata dalam kitab itu begitu menggores dalam lubuk hatinya. Tak kuasa menahan sakit, Wildan bersujud dan menangis, memohon kepada Allah untuk diberi satu kesempatan lagi untuk mencintai dan berbakti kepada ayah.

Digubah dari Resonansi Jiwa "Jessica" Oleh Herman. HS untuk acara perpisahan anak kelas IX angkatan ke IX Ponpes Al-Qur'an Harsallakum tahun 2013.