-->


Aku masih terduduk di atas tempat tidurku, memandangi kaca jendela yang masih mengembun, sisa hujan semalam. Meskipun sinar matahari mulai mengintip-ngintip dari celah petala langit, aku tak jua ingin beranjak dari sini. Seolah, aku ikut membeku sedingin udara di luar sana.
Aku selalu merasa bahwa kesendirian adalah teman. Meskipun aku memiliki keluarga yang utuh, tapi kasih sayang mereka tak pernah utuh untukku. Mereka seperti tak pernah menganggap kehadiranku di dunia ini, tak pernah memperhatikan apa yang kulakukan.
Namaku Vivi. Aku sudah duduk di kelas VIII. Aku telah berkali-kali pindah sekolah lantaran stempel “nakal” telah menempel jelas di keningku. Hingga akhirnya Ayah memasukkanku ke SMP Tunas Jaya, sekolah kesekian yang akhirnya mau menampung siswa dengan prediket kelakuan D.
Sementara adik lelakiku, Dika, dia mendapatkan sekolah dan fasilitas terbaik dari Ayah. Hal inilah yang menjadi pemicu rasa benciku kepadanya. Meskipun aku mengakui bahwa dia adik yang menarik dan baik, tapi aku sudah telanjur benci. Semua tingkahnya tak pernah terlihat baik bagiku. Seperti Ayah memperlakukanku.

Ayah dan Ibu sangatlah menyayangi Dika. Aku pernah mendengar cerita bahwa dulu Ayah dan Ibu begitu menginginkan anak laki-laki. Jadi, ketika Dika lahir ke dunia, itulah awal petaka yang menimpaku hingga saat ini. Otomatis segala bentuk kasih sayang tercurah kepadanya.
Suara kokok ayam mengagetkan lamunanku. Kulirik jam dinding di kamarku, sudah lewat pukul 06.00. Agak malas aku beranjak. Tapi kupaksakan juga menyiapkan buku-buku yang secara sembarang kuambil dari atas meja belajar dan memasukkannya ke dalam tas punggungku.
Setelah selesai memakai pakaian seragamku, terdengar langkah kaki Ibu mendekati kamarku.
“Dika, sudah siap atau belum, sayang?” Terdengar Ibu memanggil dengan lembut dari luar kamar. Sama sekali tak menyapaku, melewati kamarku begitu saja.
“Iya, Bu. Sebentar,” jawab Dika dengan riang.
Cih! Betapa irinya aku mendengarnya. Aku sudah tak ingat kapan terakhir kali Ibu berkata selembut itu kepadaku. Ingin sekali rasanya mendengar Ibu juga memanggil namaku selembut itu, memperhatikanku.
“Huh! Lihat saja nanti,” Tiba-tiba muncul sebuah ide jahil dalam benakku.
Aku membuka pintu kamar dan menghampiri Ibu yang masih berdiri di dekat pintu kamar Dika.
“Bu, Vivi minta uang!” ucapku dengan sebal dan dengan tatapan sinis.
“Nggak ada uang jajan buat kamu. Kemarin sudah Ibu kasih untuk seminggu. Asal kamu tahu, Ibu harus berhemat agar nanti ulang tahun Dika bisa dirayakan dengan meriah,” ujar Ibu dengan nada tak kalah sinisnya.
“Hhh … Dika lagi, Dika lagi!” Aku makin sebal.
“Heh, kalau ngomong sama orang yang lebih tua itu bisa lebih sopan nggak sih?! Seperti bukan anak sekolahan saja ….”
“Memangnya siapa yang bilang kalau Ibu lebih muda dari aku?” Aku memotong ucapan Ibu. Aku sengaja ingin memancing kemarahan Ibu pagi ini.
“Sudah pandai melawan sekarang ya?!” ujar Ibu sambil melotot ke arahku.
“Ya iyalah, Bu. Masalah buat Gue?” jawabku santai.
“Dasar anak nakal. Tak bisa menjadi contoh yang baik buat adiknya,” ujar Ibu dengan kesal, “pokoknya hari ini kamu tidak mendapat uang jajan … dan kamu jalan kaki saja ke sekolah!”
“Iiieew. Dasar Ibu bawel.”
Aku melenggang masuk ke dalam kamarku dengan kegirangan, meninggalkan Ibu yang masih terlihat kesal kepadaku. Aku senang sekali telah berhasil membuat Ibu marah pagi ini. Korban selanjutnya siapa yaaa? batinku. Aneh sekali, senyumku semringah sekali pagi ini.
Ketika melalui ruang makan, timbul lagi niat jahatku demi melihat Ayah dan Dika yang sedang menyantap sarapan pagi. Aku menghampiri Ayah dengan wajah yang kubuat sepanik mungkin.
“Ayah, Ibu pingsan!” ujarku berbohong.
“Hah? Ibu pingsan? Di mana?” kata Ayah panik.
“Di … di situ, Yah. Di dekat dapur,” jawabku.
Ayah segera meninggalkan sarapannya dan setengah berlari menuju dapur. Begitu pula dengan Dika. Namun, sebelum sempat Dika melewatiku, aku sudah menyambar lengannya dan menariknya dengan kuat sehingga dia terjatuh.
“Hahaha …,” aku justru tertawa puas melihat adikku menangis, “makanya, jadi anak laki-laki jangan manja!”
Tangisan Dika pun semakin keras hingga terdengar ke arah dapur. Tak berapa lama, Ibu muncul dan mendekati Dika yang masih menangis.
“Ada apa, sayang? Cep, jangan nangis, ” ucap Ibu sambil mengusap lelehan air mata di pipi Dika. Sementara itu, Ayah berdiri dengan wajah geram di dekat Ibu.
“Kakak Vivi jahat, Bu,” jawab Dika sesenggukan.
“Dasar anak kurang ajar, tak tahu diuntung! Andai saja dia tak harus lahir lebih dulu!” bentak Ayah.
Aku hanya menanggapi omelan Ayah sebagai angin lalu. Aku pun segera keluar rumah tanpa memedulikan mereka sedikit pun. Aku puas sekali hari ini.
***
“Untung saja aku sudah hapal betul jalan ke sekolah ini,” gumamku.
Aku melewati pintu gerbang tanpa menyapa seorang satpam yang berdiri dekat pos jaga. Nggak penting banget.
Aku berjalan sambil celingukan, mencari-cari ruangan mana yang ada tulisannya “Kepala Sekolah”. Tanpa kusadari, aku menabrak seorang siswa lain yang berjalan pelan di depanku.
“Eh, maaf ya. Aku nggak lihat kamu,” kataku ketus, “Eh, kebetulan …, tahu kantor kepala sekolah yang mana?
“Mmm, kamu anak baru ya?” tanyanya.
“Nggak juga. Aku udah lama lahir ke dunia ini. Jadi, aku bukan anak baru lagi, kan?” jawabku makin ketus.
Tak kusangka dia malah tertawa mendengar jawabanku.
“Apanya yang lucu?” tanyaku.
“Nggak. Aneh aja. Baru kali ini aku ketemu cewek yang ngomong blak-blakan kayak kamu,” jawabnya.
“Helloooow! Aku nggak butuh pujian darimu. Bisa kasih tau nggak di mana kantornya?” ujarku tak acuh.
“Sabar, Non. Iya, aku akan antar kamu ke sana.”
“Asal kamu tahu, namaku VIVI, bukan NON!” ujarku dengan nada suara makin tinggi. Anehnya, justru dia makin kencang tertawa. Sebel deh.
Tak butuh perdebatan panjang, dia pun mau mengantarkanku menemui kepala sekolah. Sepanjang perjalanan, justru dia yang gantian banyak bicara. Dari situ aku tahu namanya Edo. Dia siswa kelas IX. Dia juga banyak bercerita tentang pengalamanya selama sekolah di sini. Entah kenapa, aku mulai merasa nyaman ada di dekatnya.
Namun, aku tak berani bercerita apapun tentang diriku sendiri. Apanya yang mau dibanggakan jika catatan perjalananku semua buruk, semua pahit. Tak mengesankan sama sekali. Aku hanya terdiam saja. Tidak tersenyum sedikit pun.
Tanpa terasa, kami telah sampai di depan ruang kepala sekolah. Edo berpamitan karena bel masuk sebentar pagi akan berbunyi. Aku mengetuk pintu ruangan itu tiga kali. Tak berapa lama, pintu pun dibuka dan berdiri di depanku seorang perempuan seumuran Ibu, memakai jilbab krem dan senyum yang renyah.
Tak banyak yang kami bincangkan di ruangan itu selain pengarahan dari kepala sekolah yang bernama “Dra. Ditia Zuly Mareta, M.Pd.” itu. Selesai berbincang, Bu Mareta pun mengantarkanku sampai ke kelas baruku.
“Nah, ini dia kelas barumu, Nak,” ujar Bu Mareta dengan lembut. Aku melihat sejenak ke dalam kelas XII C di depanku.
“Ibu kepala sekolah yang terhormat, kenapa kelas saya jelek sekali. Panas lagi.” Aku sengaja memberikan pertanyaan konyol seperti ini agar aku mendapat kesan buruk di hari pertamaku sekolah di sini. Ibu Mareta tampak terkejut dan kebingungan.
“Ibu kenapa diam saja? Belum pernah lihat murid yang cantik kayak saya ya, Bu?” Aku makin besar kepala.
Bu Mareta hanya menghela nafas panjang lalu menyuruhku masuk ke kelas. Aku tersenyum puas untuk ke sekian kalinya.
***
“Huh, membosankan sekali sekolah ini,” keluhku saat jam pelajaran berakhir. Aku melirik jam tanganku, sudah pukul 3 sore rupanya. Sepanjang pelajaran tadi, yang kuingat hanya … aku beberapa kali dibangunkan teman semejaku karena aku tertidur di kelas.
Aku berjalan gontai kembali ke rumah. Perutku sudah sangat lapar. Aku sampai rumah dengan peluh nyaris membasahi baju seragamku. Makin sebal ketika mendapati Ayah, Ibu, dan Dika sedang asyik menonton acara TV sambil menyantap camilan. Aku sudah lama sekali tak mendapat perhatian semacam itu. Aku makin geram.
Baru saja aku melangkahkan kakiku menuju kamar, Ayah memanggilku dengan keras. Aku tak peduli. Aku hanya ingin tidur.
“Vivi!” sekali lagi Ayah memanggil namaku, “sini kamu!”
Aku berjalan malas ke arah Ayah dan Ibu yang sudah berdiri agak jauh dari ruang keluarga tempat mereka tadi nonton TV.
“Apa maksud kamu berbuat seperti itu pagi tadi?” tanya Ayah dengan geram, “barusan Ayah ditelepon kepala sekolah, katanya kamu bikin masalah di sekolah!”
Aku tak berminat sedikit pun menjawab pertanyaan Ayah karena kujawab atau tidak pun tak pernah berarti benar bagi mereka. Tapi, egoku kembali muncul.
“Emangnya masalah buat Ayah?!” jawabku dengan santai sambil membetulkan letak tas punggung di bahuku.
Plakk!
Tiba-tiba aku merasakan pipi kananku panas. Ayah menamparku dengan keras hingga tasku jatuh ke lantai. Ibu berkata sebentar lalu beranjak meninggalkanku sendiri, mengikuti Ayah yang telah lebih dulu meninggalkanku setelah melayangkan tangannya ke wajahku.
Wajahku mendadak merah padam. Aku merasakan kemarahan telah menjalar di tubuhku. Aku segera berlari ke kamar dan menjatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur. Aku tak ingin menangis. Aku hanya ingin tidur.
***
Lima bulan sudah berlalu. Ujian semester pun sebentar lagi menjelang. Hari ini aku hanya berdua dengan Manda, teman sebangkuku, belajar di rumah. Kedua orang tuaku pergi ke luar kota bersama adikku. Aku hanya dititipkan kepada Bi Imah, pembantu di rumah kami.
Hampir di setiap mata pelajaran, Manda selalu memintaku untuk mengajarinya. Padahal aku sama sekali tak pernah belajar dengan serius di kelas.
“Vi, aku mau tanya. Boleh?” ujar Manda. Aku hanya mengangguk.
“Kamu itu sebenarnya pintar. Kamu juga selalu mengajariku. Tapi, mengapa di setiap ada PR, kamu tak pernah mengerjakannya? Padahal kamu selalu memberikan jawaban kepada teman-teman, termasuk aku. Waktu ulangan pun kamu tak pernah mau mengerjakan, padahal teman-teman selalu kamu beri contekan,” tanya Manda panjang lebar.
“Mmm, nggak apa-apa kok. Aku cuma …,” Aku urung melanjutkan kalimatku.
“Kenapa, Vi? Ceritakan saja padaku,” desak Manda.
“Mm, iya …. Sebenarnya aku melakukan semua itu hanya untuk membuat orang tuaku kesal saja. Mereka tak pernah mau peduli padaku. Padahal sejak SD aku selalu juara kelas. Semua itu karena kehadiran adikku. Semenjak saat itu aku seperti tak pernah ada di mata mereka. Perhatian mereka semua tercurah hanya kepada adikku,” Aku menjeda sejenak kalimatku.
“Sejak saat itu pula, aku mulai mengerti bahwa dengan keberhasilan yang aku miliki, tak pernah bisa mengembalikan kasih sayang kedua orang tuaku. Ayah tiba-tiba menjadi egois karena ambisinya memiliki anak laki-laki telah tercapai. Karena itu, aku selalu membuat ulah agar mereka menegurku, agar mereka memperhatikanku.”
Entah kenapa, air mataku tiba-tiba keluar dan meleleh di pipiku. Manda pun menghentikan belajarnya dan memelukku erat. Ini peristiwa mengesankan bagiku karena baru saat ini aku bisa berbagi cerita dengan orang lain.
***
Sudah dua minggu aku tidak masuk sekolah. Gara-garanya, aku kesal sekali karena selama ditinggal di rumah, tak pernah sekalipun Ayah atau Ibu menelepon ke rumah. Biarpun hanya sekadar bertanya kabar. Aku lalu nekat menerobos hujan dan berlari mengelilingi lapangan bola yang berada tak jauh dari kompleks rumah kami. Karena kelelahan, aku pingsan hingga malam hari saat Pak Boy, sopir kami, menemukanku terkulai basah kuyup di lapangan.
Selama dua minggu ini pula aku tak bisa mengikuti ujian semester, pun pembagian rapor. Aku sedih sekali. Meskipun sudah dicap anak paling nakal di sekolah, aku tetap merindukan suasana di sana. Satu-satunya teman yang menjengukku hanyalah Manda.
“Non, kata Pak Boy, Ayah sama Ibu Non akan pulang hari ini,” ujar Bi Imah sambil meletakkan makan malamku di atas meja di dekat tempat tidurku.
Aku mengembangkan senyum. Dalam hati aku merasa senang karena aku tak lagi sendirian di rumah ini. Meskipun aku selalu berbuat nakal, aku tetap merindukan mereka juga.
Belum sempat aku menghabiskan makan malamku, tiba-tiba terdengar suara berat memanggil namaku dengan keras.
“Vivi, kenapa kamu tidak masuk sekolah selama kami tinggalkan, hah?! Dasar anak tak tahu diri. Sudah untung masih disekolahkan, malah bolos terus!”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, Ayah pun serta merta menyeret tubuhku yang masih terasa nyeri tak keruan. Aku tak berdaya melawan. Ayah menyeretku ke kamar mandi. Setelah itu, Ayah mengguyurku berkali-kali dengan air bak yang bagiku bagai disiram air es. Dingin bukan main.
“Kami akan menguncimu di kamar mandi hingga besok pagi. Rasakan akibatnya!” Ibu tak kalah keras menambahi perlakuan Ayah. Aku tak mampu berbuat apa-apa lagi, meskipun hanya membangkitkan tubuhku. Aku terkulai di lantai kamar mandi.
***
Aku terbangun dengan kepala berat bukan kepalang.
“Jam berapa ini?” ujarku saat merasakan ada cahaya matahari tepat jatuh ke mataku, “apakah Ibu lupa membuka pintu ini?”
Aku tak mampu berpikir lagi. Kepalaku sangat pusing. Aku sudah berada di ambang kesadaran ketika tiba-tiba pintu terbuka dan terdengar suara panik Bi Imah.
“Ya ampun, Non. Kenapa jadi begini? Non ….” Aku tak mampu lagi mendengar apa pun saat gelap tiba-tiba menyelimuti kesadaranku.
Kali ini entah berapa lama aku pingsan. Aku terbangun dan mendapati tubuhku terbaring di sebuah ruangan putih yang penuh aroma obat-obatan.
“Non Vivi sudah sadar, Non?” Terdengar suara Bi Imah menyapaku. Lalu dengan tergesa, Bi Imah keluar ruangan sambil memanggil perawat jaga.
Tak berapa lama, seorang dokter dan beberapa orang perawat menghampiriku. Setelah beberapa menit memeriksa kesehatanku, dokter itu mengajak Bi Imah keluar ruangan. Entah apa yang mereka bicarakan, sayup-sayup aku mendengar ada kata “infeksi paru-paru”. Entahlah, aku tak begitu yakin jika itu penyakit yang kuderita saat ini. Yang pasti, aku merasakan dadaku sakit sekali.
“Bi …, Bi Imah …,” kataku pelan kepada Bi Imah setelah dokter dan perawat meninggalkan ruangan rawatku.
“Iya, Non. Ada apa?” Bi Imah mendekat dan menggenggam jemariku.
“Tolong carikan kertas dan pena, Bi,” pintaku.
“Buat apa, Non?”
“Carikan saja, Bi …, uhuk … uhuk….”
“Iya. Iya, Non.” Bi Imah pun kembali keluar ruangan. Dan kembali beberapa menit kemudian dengan membawa secarik kertas dan pena.
Susah payah aku mendiktekan kata-kata yang harus ditulis Bi Imah. Beberapa kali Bi Imah tak mau meneruskan menulis sambil terus sesenggukan. Tapi aku memaksa hingga pada kata terakhir.


Ma, Pa, Maafkan Vivi tidak bisa jadi anak kebanggaan. Tapi Vivi berbahagia sekali telah memiliki kalian. Vivi bukan anak nakal. Vivi sayang kalian. Semoga kita bisa bertemu lagi di surga nanti. Vivi.

“Bi, nanti kalau Ayah dan Ibu ke sini, tolong berikan surat ini kepada mereka ya, Bi,” ujarku terbata. Bi Imah makin keras menangis.
Uhuk, Uhuk!
Aku terbatuk agak keras. Darah merah segar mengalir dari mulut dan hidungku. Aku merasakan dadaku sangat sesak. Aku tersengal beberapa kali dan merasakan darah tertelan ke kerongkonganku.
“Dok! Dokteeeer! Dokteeeeer!” Bi Imah tampak sangat panik, “Non, tunggu sebentar, Non. Sebentar lagi dokter ke sini. Non …, Non…,”
Aku sempat melihat Ayah, Ibu, Dika, dan dokter masuk ke ruanganku sebelum akhirnya pandanganku kian kabur. Aku hanya mampu mendengar suara dengan samar sekali. Aku merasakan napasku mulai pendek dan kian tersengal.
Ingin sekali aku mengatakan kata maaf dan rindu kepada mereka, tapi … perlahan kesadaranku mulai terasa hilang. Aku tak bisa merasakan apa-apa lagi.[]

Luci Fitriani

Siswi Kelas IX C

MTs Al-Quran Harsallakum

Judul Cerpen : Luka Terakhir


Juara I Cipta Cerpen di SMU 7 Tahun 2013